Rabu, 02 September 2009

tafsir muqoron

A. Definisi Tafsir Muqaranah Antarayat
Al Kumi sebagaimana dikutip oleh M. Ridwan Nasir, menyatkaan bahwa tafsir muqaranah (antarayat) merupakan upaya membandingkan ayat-ayat Al-Quran antara sebagian dengan sebagian lainnya. Selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat al Farmawi yang mendefinisikan tafsir muqaranah antarayat dengan upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara masalah yang sama.
Lebih lengkap dari itu, Nasruddin Baidan menyatakan bahwa para ahli ilmu tafsir tidak berbeda pendapat dalam mendefinisikan tafsir muqaranah. Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif antarayat ialah membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama. Tidak jauh berbeda dengan Nasruddin, Syahrin Harahap menjelaskan bahwa tafsir muqaranah antarayat adalah suatu metode mencari kandungan al-Quran dengan cara membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, yaitu ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah/kasus yang sama atau yang diduga sama.
Empat definisi yang ditawarkan di muka cukup representatif kiranya untuk memberikan pemahaman bahwa tafsir muqaranah antarayat merupakan pola penafsiran al-Quran untuk ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi maupun kasus atau redaksinya berbeda, namun kasusnya sama begitu juga sebaliknya.
B. Ruang Lingkup
Secara global, tafsir muqaranah antarayat dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Quran yang memiliki dua kecenderungan. Pertama adalah ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi, namun ada yang berkurang ada juga yang berlebih. Kedua adalah ayat-ayat yang memiliki perbedaan ungkapan, tetapi tetap dalam satu maksud. Nasruddin selanjutnlya melengkapi pendapat tersebut dalam buku yang lain dengan pernyataannya bahwa wilayah kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional (mabahits lafzhiyat) saja, melainkan mencakup perbedaan kandungan makna masing-masing ayat yang diperbandingkan. Disamping itu, juga dibahas perbedaan kasus yang dibicarakan oleh ayat-ayat tersebut, termasuk juga sebab turunnya ayat serta konteks sosio-kultural masyarakat pada waktu itu.
C. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
Diantara kelebihan metode ini secara umum ialah sebagai berikut:
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode yang lain. Didalam penafsiran itu, terlihat bahwa satu ayat al-Quran dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufasirnya. Dengan demikian, terasa bahwa al-Quran itu tidak sempit, melainkan amat luas dan dapat menampung berbagai ide dan pendapat. Semua pendapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya melalui metode dan kaidah yang benar.
b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada kontroversi. Dengan demikian, hal itu dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu, sehingga umat, terutama mereka yang membaca tafsir muqaranah, terhindar dari sikap ekstrimistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat. Hal itu dimungkinkan karena penafsiran tersebut memberikan berbagai pilihan.
c. Tafsir dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu, penafsiran seamcam ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan mendalami penafsiran al-Quran bukan bagi para pemula.
d. Dengan menggunakan metode komparatif, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Dengan pola serupa ini akan membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat.
2. Kekurangan
Diantara kekurangan metode ini secara umum ialah sebagai berikut:
a. Penafsiran yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah. Hal itu disebabkan pembahasan yang dikemukakan didalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim.
b. Metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah. Dengan demikian, jika menginginkan pemecahan masalah, yang tepat adalah menggunakan metode tematik,.
c. Metode komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa itu tidak perlu timbul apabila mufasirnya kreatif. Artinya, dia tidak hanya sekedar mengemukakan penafsiran-penafsiran orang lain, tetapi harus mengaitkannya dengan kondisi yang dihadapinya. Denan demikian dia akan menghasilkan sintesis-sintesis baru yang belum ada sebelumnya.
D. Urgensi dan Manfaat
Seorang mufasir dapat menggali hikmah yang terkandung di balik variasi redaksi ayat, atau dengan kata lain yang lebih tepat, menguras kandungan pengertian ayat-yang barangkali terlewatkan metode lain-sehingga manusia semakin sadar bahwa komposisi ayat itu tidak ada yang dibuat secara sebarang, apalagi untuk mangatakan bertentangan. Pada sisi lain, dapat juga mendemonstrasikan kecanggihan al-Quran dari segi redaksional.
Fenomena ini mendorong para mufassir untuk mengadakan penelitian dan penghayatan terhadap ayat-ayat yang secara redaksional memiliki kesamaan. Dengan begitu, akan tampak jelas kontekstualisasi kandungan ayat tersebut karena hal ini akan efektif menepis anggapan bahwa Tuhan sudah “kehabisan” kosakata dalam melengkapi ajaran qurani atau mungkin beberapa ayat dianggap cenderung membosankan karena terkesan diulang-ulang. Tak satupun ayat yang tersia-siakan karena satu persatunya mengandung hikmah yang perlu dibedah dan ditelisik spesifikasinya. Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan kiranya dinyatakan bahwa mendekati al-Quran dari dimensi model tafsir seperti ini akan menambah keteguhan imam seseorang serta akan menguatkan kreativitas bertafakkur.
E. Langkah-langkah
Langkah-langkah yang diterapkan dalam metode muqaranah adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan menghimpun redaksi yang mirip. Penngidendifikasian dalam hal ini adalah dengan memilah-milah atau menentukan ayat-ayat al-Quran yang berkategori mirip dan yang bukan. Pengidentifikasian ini diperlukan supaya jelas batas-batas yang akan dikaji dan tampak permasalahannya. Dengan demikian, secara teknis akan memudahkan mufasir dalam proses penafsirannya. Identifikasi dan penghimpunan ayat yang mirip tersebut meliputi ibdal (penggantian), ziyadath wa an nuqshan (berlebih dan berkurang), tikrar (pengulangan rekdaksi), ikhtilaf shiagh al kalimat (perbedaan bentuk morfem), taqdim wa al ta’khir (terdahulu dan terkemudian), khitab (perbedaan ungkapan), makrifat dan nakirat (definite dan indefinite), perbedaan idhafat dan tidak idhafat, perbedaan jenis morfem (laki-laki dan perempuan), perbedaan jabatan kata, perbedaan idgham dan tidak idgham, perbedaan bertanwin dan tidak bertanwin.
b. Membandingkan redaksi yang mirip. Memperbandingkan redaksi yang mirip adalah meneliti redaksi-redaksi yang serupa dari ayat-ayat al-Quran untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya. Namun perbandingan disini tidak sama dengan apa yang dilakukan di dalam studi perbandingan agama, perbandingan pendidikan, perbandingan madzhab dan perbandingan pendapat ulama tafsir terhadappenafsiran suatu ayat. Hal itu disebabkan karena keragaman dan perbedaan-perbedaan redaksi menyangkut fenomena lahir seperti susunan kata yang tidak sama sebagai akibat dari taqdim dan ta’khir; atau jumlah kata yang digunakan berselisih banyaknya dikarenakan salah satu redaksi menggunakannya dalam jumlah tertentu dan redaksi lain mempunyai jumlah kata yang kurang atau lebih dari itu; atau berbeda dalam penggunaan kata Bantuk (harf al-Jarr) kata penghubung (harf al-athf); dan lain-lain. Untuk membuat perbandingan diantara redaksi-reaksi yang mirip itu, paling tidak ada dua pendekatan yang perlu dilakukan oleh para mufasir. Pertama, melalui pendekatan linguistik dan kedua melalui pendekatan ilmu qiraat.
c. Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam redaksi yang mirip. Tahap ini merupakan lanjutan dari apa yang sudah diperbandingkan sebelumnya dalam tahap kedua atau disebut juga dengan analisis perbandingan; artinya perbandingan-perbandingan yang telah dilakukan sebelumnya, di sini dianalisis lebih mendalam dan detail, sedang pada tahap perbandingan redaksi hanya sekedar mencari dan menunjukkan persamaan dan perbedaan diantara dua redaksi yang mirip atau lebih. Itulah sebabnya pendekatan yang digunakan pada tahap kedua di atas juga dipakai di sini dan ditambah aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan redaksi yang dikaji seperti latar belakang turunnya ayat, biografi Rasulallah, situasi dan kondisi ummat ketika ayat turun, dan lain-lain.
F. Contoh Aplikasi
Ayat-ayat beredaksi mirip yang membahas kasus yang berbeda
وماجعله الله الا بشرى ولتطمئن به قلوبكم وما النصر الا من عند الله إن الله عزيز حكيم (الأنفال: 10)
وماجعله الله الا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر الا من عند الله العزيز الحكيم (ال عمران: 126)
Dua ayat tersebut redaksinya terlihat mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin dalam bertempur melawan musuh.
Variasi yang dapat dilihat adalah:
a. Surat Al Anfal mendahulukan kata bihi dari pada qulubukum
b. surat Al Anfal menggunakan kata inna, sedangkan Al Imron tidak
c. Surat Ali Imron menggunakan kata lakum, sedangkan Al Anfal tidak
d. Surat Al Anfal berbicara mengenai perang Badar, sedangkan Ali Imron berbicara tentang perang uhud
Variasi keterdahuluan bihi dan penambahan inna dalam ayat pertama dimaksudkan sebagai penekanan atau penegasan (taukid) kandungan utama ayat tersbut saat berlansungnya perang badar. Pada ayat kedua, hal tersebut diduga tidak lagi diperlukan.
Ayat-ayat membahas kasus yang sama dengan redaksi yang berbeda
ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم واياهم (الانعام: 151)
ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم واياكم (الاسراء: 31)
Dua ayat tersebut membahas kasus yang sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan, namun redaksinya terlihat berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari segi mukhatab (objek) nya. mukhatab pada ayat pertama adalah orang miskin, sehingga redaksi yang digunakan adalah من إملاق yang berarti karena alasan kemiskinan. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu miskin”. Sementara itu, mukhatab pada ayat kedua adalah orang kaya sehingga redaksi yang digunakan adalah خشية إملاق yang berarti karena takut menjadi miskin. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu takut menjadi miskin”. Selanjutnya, pada ayat pertama dhamir mukhatab didahulukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si miskin bahwa ia tidak mampu memberikan nafkan kepada anaknya, sebab Allah akan memberikan rizki kepadanya. Jadi, kedua ayat itu menumbuhkan optimisme kepada si kaya maupun si miskin.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP